BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Masyarakat Indonesia telah lama
mengenal serta menggunakan obat-obatan alami atau yang dikenal dengan obat
tradisional. Obat tradisional lebih mudah diterima oleh masyarakat karena
selain telah akrab dengan masyarakat, obat ini lebih murah dan mudah didapat
(Hyeronimus SB, 2006). Terdapat
berbagai macam obat tradisional yang berasal dari tanaman dan telah banyak
diteliti kandungan kimia dan khasiat yang berada di dalamnya. Namun masih
banyak tanaman yang belum diketahui kadar toksisitasnya, sehingga perlu
diteliti lebih lanjut (Agus D, 2008).
Keharusan
adanya data uji farmakologi, uji toksisitas, dan uji klinis sudah mulai
diberlakukan dengan keluarnya UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan agar obat
tradisional lebih mampu bersaing dengan obat modern dan secara medik lebih
dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya (uji
farmakologi dan uji toksisitas).
Uji
toksisitas diperlukan untuk menilai keamanan suatu obat, maupun bahan yang
dipakai sebagai suplemen ataupun makanan. Hal juga untuk melindungi masyarakat dari efek yang mungkin
merugikan Efek toksik obat-obatan sering terlihat dalam hepar, dikarenakan
hepar berperan sentral dalam memetabolisme semua obat dan bahan-bahan asing
yang masuk tubuh. Hepar akan mengubah struktur obat yang lipofilik menjadi
hidrofilik sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh melalui urin atau empedu
(Setiawan,dkk,2007). Ekskresi melalui empedu memungkinkan terjadinya penumpukan
xenobiotik di hepar sehingga menimbulkan efek hepatotoksik (Donatus IO, 2007)
Untuk melakukan uji toksisitas umumnya menggunakan metode BSLT
(Brine Shrimp Lethality Test). BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)merupakan
salah satu metode skrining bahan yang berpotensi sebagai tanaman
berkhasiat. Metode penelitian ini menggunakan larva udang (Artemia salina Leach.)
sebagai bioindikator. Larva udang ini merupakan organism sederhana dari biota
laut yang sangat kecil dan mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap toksik
(Parwati dan Simanjuntak, 1998).
1.2. Tujuan
·
Dengan uji toksisitas ini dapat diketahui
ketoksikan suatu bahan obat terhadap makhluk hidup.
·
Dapat mengetahui LD50 dan LC50
BAB II
ISI
Toksikologi Umum
Uji toksikologi umum adalah berbagai uji yang dirancang
untuk mengevaluasi efek umum suatu senyawa secara keseluruhan pada hewan uji. Uji
yang termasuk dalam golongan ini, meliputi:
1.
Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut adalah uji toksisitas terhadap suatu
senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan percobaan, yang diamati
selama 24 jam atau selama 7-14 hari.
Tujuan uji toksisitas akut yaitu:
·
Menentukan jangkauan dosis letal dan berbagai efek senyawa
terhadap berbagai fungsi penting tubuh (seperti gerak; tingkah laku; dan
pernafasan) yang dapat dipergunakan sebagai indikator penyebab kematian hewan
uji,
·
Menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek
toksik spesifiknya
·
Memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan.
Dosis dan jumlah hewan
Uji LD50 adalah menetapkan dosis yang akan
membunuh 50% hewan dan menentukan slope (kemiringan) kurva dosis vs respon.
Pengamatan dan pemeriksaan
Setelah perlakuan zat
toksik, hewan harus diperiksa tidak hanya jumlah dan waktu kematian, tetapi jga
saraf sentral, saraf otonom, dan pengaruh terhadap tingkah laku (termasuk
reaksi awal, intensitas, dan lama reaksinya). Frekuensi pengaruh dosis harus
dicatat untuk masing-masing kelompok dosis.
Perhitungan LD50 dapat dilakukan dengan
berbagai metode, yaitu:
a) Miller dan Tainter (1945) : Metode statistic
b) Litchfield dan Wilcoxon (1949) :
Normogram
c) Thomposon-Weil (Biometrics, 1952) :
Menggunakan daftar dan jumlah hewan yang sedikit, dengan taraf kebenaran 95%.
Klasifikasi zat kimia berdasarkan toksisitas relatif.
Klasifikasi umum sebagai berikut:
No. Kategori LD50 (mg/kg)
1 Sangat tinggi <1
2 Tinggi 1-50
3 Sedang 50-500
4 Sedikit toksik 500-5000
5 Hampir tidak toksik 5000-15000
6 Relatif tidak toksik >15000
2.
Uji Toksisitas Sub-kronik (Jangka
Pendek)
Uji ini dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai efek
berbahaya yang dapat terjadi jika suatu senyawa digunakan selama waktu
tertentu, selama waktu tertentu, serta untuk menunjukkan apakah berbagai efek
tersebut berkaitan dengan dosis.
Kegunaan uji toksisitas sub-kronik adalah untuk mengetahui
efek samping dan kontraindikasi obat yang diuji. Uji ini dilakukan dengan
memberikan bahan tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali
seminggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan; yaitu 3
bulan untuk tikus, dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Tetapi beberapa peneliti
menggunakan jangka waktu yang lebih pendek, misalnya pemberian zat kimia selama
14 dan 28 hari.
Jenis Hewan Uji
Sekurang-kurangnya digunakan dua jenis hewan, hewan pengerat
dan bukan hewan pengerat. Biasanya dapat digunakan tikus dan anjing, dari dua
jenis kelamin, sehat, dewasa, umur 5 sampai 6 minggu untuk tikus, dan 4-6 bulan
untuk anjing.
Jumlah Hewan Uji
Masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor hewan pengerat
atau empat ekor anjing untuk setiap jenis kelamin. Bila pada percobaan akan
dilakukan pengorbanan/pembedahan, maka jumlah hewan uji harus sudah
dipertimbangkan sebelumnya.
Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan satu
kelompok kontrol untuk setiap jenis kelamin. Dosis dan jumlah kelompok dosis harus
cukup, hingga dapat diperoleh dosis toksik dan dosis tidak berefek. Dosis
toksik harus menyebabkan gejala toksik yang nyata pada beberapa hewan uji dan
terjadinya kematian tidak boleh lebih dari 10%, sedang dosis tidak berefek
tidak boleh menyebabkan gejala toksik. Sebagai dosis toksik biasanya digunakan
10-20% dari harga LD50, dengan mempertimbangkan hasil yang diperoleh pada uji
pendahuluan, tingkat dosis lain ditetapkan dengan faktor perkalian tetap 2
sampai 10.
Cara Pemberian Zat Uji
Pada dasarnya zat uji harus diberikan sesuai dengan cara
pemberian atau pemaparan yang diharapkan pada manusia. Bila diberikan secara
oral, dapat diberikan dengan cara pencekokan menggunakan sonde atau secara ad
libitum di dalam makanan atau minuman hewan. Bila zat uji akan dicampur dengan
makanan atau minuman hewan, jumlah zat uji yang ditambahkan harus
diperhitungkan berdasarkan jumlah makanan atau minuman yang dikonsumsi setiap
hari.
Lama Pemberian Zat Uji
Lama pemberian zat uji selama 28 sampai 90 hari atau 10% dari
seluruh umur hewan, diberikan tujuh hari
dalam satu minggu.
3.
Uji Toksisitas Kronik (Jangka Panjang)
Pada dasarnya uji toksisitas kronik sama dengan toksisitas
sub-akut. Perbedaannya hanya terletak pada lamanya pemberian dosis dan masa pengamatannya. Percobaan jenis ini mencakup pemberian obat
secara berulang selama 3–6 bulan atau seumur hewan, misalnya 18 bulan untuk
mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7–10 tahun untuk anjing dan monyet.
Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat,
kecuali untuk percobaan karsinogenik. Umumnya satu atau lebih jenis binatang
yang digunakan. Kecuali tidak ditunjukkan, tikuslah yang digunakan, anjing dan
primata merupakan pilihan berikutnya. Karena ukurannya yang kecil, tikus tidak
cocok digunakan dalam studi toksisitas jangka panjang, meskipun mereka sering
digunakan dalam studi karsinogenesitas. Jantan dan betina dalam jumlah yang
sama digunakan. Umumnya 40-100 tikus ditempatkan dalam kelompok masing-masing
dosis dan juga dalam kelompok kontrol. Penggunaan anjing dan primata non
manusia jauh lebih sedikit (http://id.shvoong.com/medicine-and-health/medicine-history/2131893-toksikologi-umum/#ixzz1yD5fBdrW)
Metode BST
BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) merupakan salah
satu metode skrining bahan yang berpotensi sebagai tanaman berkhasiat.
Metode penelitian ini menggunakan larva udang (Artemia salina Leach.)
sebagai bioindikator. Larva udang ini merupakan organism sederhana dari
biota laut yang sangat kecil dan mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap
toksik (Parwati dan Simanjuntak, 1998).
Telurnya memiliki daya tahan hidup selama beberapa tahun
dalam keadaan kering. Telur udang dalam air laut akan menetas menjadi larva
(nauplii) dalam waktu 24 – 28 jam (Pujiati et al., 2002). Bila bahan
yang diuji memberikan efek toksik terhadap larva udang, maka hal ini merupakan
indikasi awal dari efek farmakologi yang terkandung dalam bahan tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa A. salina memiliki korelasi
positif terhadap ekstrak yang bersifat bioaktif. Metoda ini juga banyak
digunakan dalam berbagai analisis biosistim seperti analisis terhadap residu
pestisida, miko toksin, polusi, senyawa turunan morfin, dan karsinogenik dari
phorbol ester (Meyer et al., 1982).
Penetasan
Larva Udang
Sebanyak 10 mg telur udang A. salina
ditambah 100 mL air laut yang telah disaring. Selanjutnya diberi
pencahayaan lampu TL selama 48 jam sampai telur udang A.
salina menetas sempurna dan siap diujicobakan.
Uji
Toksisitas terhadap Larva A. salina
Masing-masing sampel kemudian dipipet sebanyak
100 μL dan diletakkan dalam
mikroplate, kemudian ditambah 10 μL air laut yang berisi 10 larva udang pada setiap
sampel sehingga volume sampel menjadi setengahnya (1.000 ppm; 500 ppm; 250 ppm;
125 ppm; 62,5 ppm; 31,2 ppm; 15,6 ppm; 7,8 ppm). Jumlah larva udang yang mati
dan hidup dihitung setelah 24 jam. Kontrol dikerjakan sama dengan perlakuan
sampel, tetapi tanpa penambahan ekstrak. Ekstrak sampel yang sukar larut dapat ditambahkan
DMSO 1% satu sampai tiga tetes (Kadarisman, 2000; Sutisna, 2000).
Setiawati A, Suyatna FD, Gan S.
Pengantar farmakologi. In: Gunawan SG,
Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth.
Farmakologi dan terapi. 5th
ed.
Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. 1-11.
Donatus IO. Toksikologi dasar. Yogyakarta:
Laboratorium Farmakologi dan
Toksikologi Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada; 2001. 100-2.
Hyeronimus
SB. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. 1st ed. Jakarta: Agro
Media;2006.
Agus
D. Khasiat Tanaman Obat Indonesia [Online]. 2008 Aug [cited 2008 Dec
21];
Available from: URL:http://www.depkes.litbang.co.id/
Best YouTube Channeling: Best & Most Popular Videos
BalasHapus, YouTube has a lot in common with the rest of youtube to mp3 downloader the world, and a lot of it is just as a niche site and a niche